Oleh
Dr.
Risky Akaputra, Sp.P
Istilah pneumokoniosis berasal dari bahasa yunani yaitu pneumo
yang berarti paru dan konos artinya debu. Istilah ini pertama
kali diperkenalkan pada awal abad ke 19 untuk menggambarkan penyakit
paru yang berhubungan dengan debu mineral. Pneumokoniosis merupakan
kelompok penyakit saluran pernapasan yang disebabkan oleh debu di
daerah tambang. International Labour Organization (ILO)
mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi
akibat penumpukan debu di dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan
terhadap debu tersebut. Bentuk kelainan yang terjadi biasanya berupa
peradangan dan pembentukan jaringan fibrosis. Debu yang berukuran 0.1
– 10 mikron adalah yang gampang terhirup pada saat kita bernapas,
yang berukuran lebih dari 5 mikron akan mengendap disaluran napas
bagian atas. Debu berukuran 3-5 mikron akan menempel disalurun napas
bronkiolus, sedangkan yang berukuran 1-3 mikron akan sampai ke
alveoli. Debu-debu tersebut masuk ke dalam paru, dan akan
terdistribusikan di saluran napas dan menimbulkan reaksi sistem
pertahanan tubuh sebagai respon terhadap debu tersebut. Reaksi yang
ditimbulkan juga bergantung terhadap komposisi
kimia, sifat fisik, dosis dan lama pajanan yang menentukan dapat
atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis. Timbulnya reaksi
debu terhadap jaringan membutuhkan waktu yang cukup lama, pada
beberapa penelitian didapatkan sekitar 15 – 20 tahun. Berdasarkan
penyebabnya pneumokoniosis dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu yang
disebabkan oleh debu organik (bisinosis), anorganik (silika, asbes
dan timah) dan pekerjaan (pneumokoniosis penambang batubara / Coal
Worker’s Pneumoconiosis ) atau yang lebih dikenal dengan
paru-paru hitam.
Menurut catatan pada tahun 1831 istilah pneumokoniosis penambang
batubara atau miners black lung (paru-paru hitam) sudah
dikenal dan dicatat dalam laporan klinis. Kemudian penelitian
prospektif yang dilakukan berikutnya mendapatkan kaitan antara jumlah
debu paparan yang dapat menimbulkan kerusakan terhadap fungsi paru.
Hal ini menjadi panduan untuk melakukan tindakan preventif dalam
rangka menurunkan jumlah kasus pneumokoniosis. Prevalens
pneumokoniosis di negara bagian Amerika pada tahun 1960 sekitar 30%
dan angka ini jauh menurun pada tahun 2002 hanya sekitar 2.5% .
Menurut data Industrial Injuries and Disablement Benefit
(IIDB) kasus baru pneumokoniosis di Inggris pada tahun 2013
didapatkan sebanyak 265 kasus untuk pneumokoniosis penambang batubara
dan 40 kasus pneumokoniosis lainnya. Setiap tahunnya kasus
pneumokoniosis cenderung menurun, dan didapatkan terbanyak pada laki
laki usia lebih dari 65 tahun. Data nasional prevalens untuk
pneumokoniosis atau PPB di Indonesia masih belum ada. Penelitian
tentang pneumokoniosis di Indonesia masih berskala kecil. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Razi dkk pada salah satu industri di
Indonesia periode 1992 -2002 didapatkan insidens PPB sekitar 3.6%.
Angka tersebut tidak jauh berbeda dibandingkan negara lainnya.
Penurunan jumlah kasus baru pneumokoniosis menggambarkan kontrol
perusahaan terhadap lingkungan semakin membaik.
Faktor faktor yang dapat meningkatkan resiko PPB antara lain;
- Tipe debu; debu yang mengandung silika dapat memperberat terjadinya PPB, usia batubara juga menentukan resiko terjadinya PPB
- Usia pekerja saat paparan debu pertama kali
- Lama berada di tempat kerja
- Merokok
- Ukuran debu
- Jenis pekerjaan, pekerja yang bertugas sebagai pemotong batu bara secara langsung memiliki resiko yang lebih tinggi dibandingkan pekerja lainnya.
Berdasarkan berat penyakit pneumokoniosis penambang batubara (PPB)
dibagi dua yaitu simpleks dan kompleks. Pneumokoniosis penambang
batubara simpleks biasanya tanpa gejala. Pemeriksaan spirometri tidak
menunjukkan kelainan fungsi paru yang berarti. Tindakan pencegahan
sangat diperlukan pada fase ini untuk mencegah progresifitas
pneumokoniosis. Pneumokoniosis penambang batubara simpleks dapat
berkembang menjadi kompleks dalam waktu 1 tahun. Pneumokoniosis
penambang batubara kompleks biasanya disertai dengan gejala. Gejala
yang timbul dapat berupa gejala respirasi seperti batuk berdahak yang
cenderung menetap. Batuk pada PPB kompleks yang progresif dapat
disertai dengan dahak berwarna kehitaman. Hal ini biasanya
diakibatkan oleh komplikasi infeksi yang terjadi pada penderita.
Gejala pernapasan lainnya seperti sesak napas terutama saat melakukan
aktifitas dan nyeri dada. Gejala non respirasi yang mungkin terjadi
adalah terdapat bengkak di kaki dan tungkai yang merupakan komplikasi
lanjut. Pada pemeriksaan spirometri ditemukan penurunan nilai fungsi
paru yang berarti. Tindakan preventif pada saat ini adalah untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih parah. Untuk menegakkan
diagnosis dari penyakit ini diperlukan anamnesis yang cermat
terhadap;
- Keluhan yang dirasakan oleh penderita.
- Riwayat pekerjaan seperti lama bekerja, penempatan tugas, dan lingkungan.
- Kebiasaan penderita seperti menggunakan alat pelindung diri (APD) dan kebiasaan merokok.
Pemeriksaan darah dan dahak dapat dilakukan untuk melihat kemungkinan
terdapat komplikasi atau membedakan dengan penyakit infeksi lainnya.
Selain itu pemeriksaan dahak juga dapat untuk mencari penyebab atau
bahan biologi yang mengakibatkan pneumokoniosis tersebut. Pemeriksaan
radiologi seperti rontgen dada atau CT-scan dilakukan
dengan menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh ILO. Pada
pemeriksaan rontgen dada didapatkan nodul difus dengan ukuran
lebih dari 1 cm dan terdapat jaringan fibrosis. Pemeriksaan
spirometri untuk menilai fungsi paru dengan mengukur kapasitas dan
volume paru pada penderita PPB. Penilaian fungsi paru pada PPB simpel
sering tidak menunjukkan kelainan fungsi paru sedangkan pada
penderita PPB kompleks terdapat kelainan fungsi paru yang berarti.
Pemeriksaan analisis debu penyebab penting dilakukan untuk membedakan
pneumokoniosia penambang batubara dengan pneumokoniosis lainnya.
Bahan pemeriksaan dapat diambil dengan menggunakan bronkoskopi fiber
dan melakukan teknik broncho alveolar lavage (BAL). Dibuat
sediaan dari spesimen yang didapat dari BAL tersebut dan
memeriksakannya dibawah mikroskop. Selain pengambilan spesiman dengan
menggunakan teknik BAL, dapat juga dilakukan biopsi jarum atau biopsi
terbuka
Hingga saat ini tidak terdapat pengobatan yang mampu mengembalikan
fungsi paru kembali normal atau menghambat progresivitas PPB.
Pengobatan yang diberikan pada penderita PPB berdasarkan gejala yang
didapatkan pada penderita. Pengobatan yang dilakukan seperti
pemberian oksigen dengan menggunakan nonrebreather mask (NRM)
, obat batuk dan pelega napas untuk meringankan keluhan penderita
saja. Oleh karena itu pencegahan untuk terjadinya pneumokoniosis
memiliki peran yang sangat penting. Tindakan yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya pneumokoniosis penambang batubara seperti
dilakukan pemeriksan radiologi atau medical check up berkala.
Pemeriksan medical check up ini dapat dilakukan dengan rentang
waktu 5 tahun sekali. Pekerja yang berhasiil di jaring dalam medical
check up dapat dilakukan penyesuaian tempat bekerja. Regulasi
dalam pekerjaan dan melakukan kontrol terhadap kadar debu di
lingkungan pekerjaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Melakukan
kontrol terhadap kebiasaan pekerja juga dapat dilakukan. Seperti
pekerja tambang yang memiliki kebiasaan merokok dapat dikonsultasikan
pada klinik berhenti merokok. Penggunaan alat pelindung diri seperti
masker diwajibkan untuk dipakai selama bekerja terutama pekerja yang
berada dilingkungan yang berisiko. Tindakan pencegahan lainya adalah
melakukan pemberian vaksinasi kepada para pekerja untuk mencegah
terjadinya infeksi.
Daftar
Pustaka
- Cowie RL, Murray JF, Becklake MR. Pneumoconiosis. In: Mason RJ, Broaddus VC, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of Respiratory Medicine. 4th Ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2005. p. 1748-82.
- Susanto AD, Pneumokoniosis , J Indon Med Assoc, Vol: 61, Desember 2011, p503-10.
- Cullinan P , Tarlo MS, Introduction. In: Cullinan P , Tarlo MS, Nemery B, editors Occupational and Environmental Lung Diseases. 1st Ed. UK: John Wiley & Sons; 2010. P.5-6
- Razi F, Amri Z, Ichsan M, Faisal Yunus F. Pengaruh Debu Batubara terhadap Paru Pekerja Tambang Penggalian. Maj Kedokteran Indonesia, Vol : 58, Feb 2008. P.35-40
- Merchan A, Taylor G, Hodous TK. Coal workers pneumoconiosis and exposure to other carbonceous dust.
0 komentar
Posts a comment