Minggu, 25 Januari 2015

Penyakit Kusta, Masih Adakah di Indonesia ?

Pembangunan kesehatan bertjuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Program pembangunan bidang kesehatan melalui upaya preventif antara lain pemberantasan penyakit menular, salah satunya pemberantasan penyakit kusta.
Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yang menyerang kulit, saraf tepi dan jaringan lain, kecuali otak. Penyakit ini sudah lama dikenal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Sering dianggap sebagai penyakit keturunan, karena kutukan, guna-guna atau makanan, padahal hal tersebut tidak benar. Manusia terkena penyakit kusta karena penularan. Penyakit kusta sering menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis, tetapi meluas sampai pada masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan nasional. Ada stigma dan diskriminasi di masyarakat tentang penyakit ini, orang takut bersentuhan dengan penderita kusta, termasuk petugas kesehatan
 Indonesia menempati urutan ketiga Negara dengan endemik kusta terbesar di dunia setalah India dan Brazil. Meskipun Indonesia telah berstatus emilminasi sejak tahun 2000, tetapi penemuan kasus baru selalu ada. Tahun 2013, ditemukan 16.856 kasus baru di Indonesia, atau 6,79 per 100.000 penduduk. Angka ini berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yakni 18.994 (tahun 2012) dan 20.023 (tahun 2011).
 Berdasarkan data tingkat provinsi, baru 20 provinsi yang belum mencapai eliminasi (jumlah kasus kurang dari 1 per 10.000 penduduk). Masih ada 14 provinsi yang belum mencapai eliminasi. Di Jawa Timur pada tahun 2013 memiliki kasus baru 4.132, sedangkan Jawa Tengah tahun 2014 penemuan kasus kusta baru sebanak 1.813 orang di tahun 2014 dijumpai di 14 kabupaten/kota Jawa Tengah, yang endemis kusta. Sebanyak 80% penemuannya terdapat di daerah high endemic, sedangkan daerah endemis rendah dengan kontribusi 20%, penemuan proporsi kecacatan angkanya cukup tinggi. Akan tetapi kalau dilihat dari angka prevalensi penyakit kusta, sudah menurun, yaitucase detection rate (CDR) > 0,54 per 100.000 penduduk. Sementara proporsi kasus kusta pada anak > 5% dan proporsi cacat tingkat 2 juga masih tinggi, yaitu 12%. Hal ini menunjukkan bahwa beban kusta di Jawa Tengah masih tinggi dan masih perlu suatu gerakan yang lebih atraktif yang mengajak seluruh elemen masyarakat berpartisipasi dalam penemuan dini.
Mengapa penularan terus terjadi ? Ini disebabkan populasi kusta masih ada. Selama penderita kusta masih ada, dia berpotensi mnularkan penyakit ini ke orang lain. Tetapi harus diingat bahwa penularan kusta memerlukan kontak yang intens, sehingga sering dijumpai pada orang serumah; dan orang bisa tertular kalau dia mempunyai kekebalan tubuh yang lemah. Kemungkinan penularan melalui pernafasan. Tetapi tidak semua orang yang kontak dengan pasien kusta otomatis tertular. Secara statistik, hanya 5 persen yang tertular. Sebagai ilustrasi, dari 100 orang terpapar, 95 orang di antaranya tetap sehat, 3 orang tertular dan sembuh sendiri tanpa obat sedangkan 2 orang tertular dan menjadi sakit yang memerlukan pengobatan. Karena itu, menemukan pasien kusta lebih dini dan mengobatinya merupakan kunci memutus mata rantai penularan.
 Permasalahan yang sedang dihadapi dalam upaya pemberantasan penyakit kusta adalah rendahnya cakupan penemuan (Case finding) penderita kusta. Hal ini disebabkan karena :
  1. Keterbatasan SDM dan kemampuan petugas dalam mendeteksi dini penyakit kusta masih rendah
  2. Sebagian besar (85%) penderita kusta adalah masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan dalam menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan baik dari segi ekomomi, pengetahuan, transportasi dan pola pikir ekonomi.
  3. Bertambahnya jumlah penduduk membawa konsekuensi meningkatnya kepadatan penduduk, polusi udara sehingga memperpendek jangkauan penularan kepada lingkungan sekitar.
  4. Stigma terhadap kusta yang berlebihan baik oleh masyarakat maupun oleh tenaga kesehatan sendiri
Stigma yang kuat di masyarakat mengakibatkan pnderita kusta menarik diri dan enggan berobat. Padahal kusta dapat disembuhkan dan cacat akibat kusta dapat dicegah bila berobat sejak dini. Oleh karena itu keberhasilan pengobatan kusta sangat bergantung pada penemuan pasien dan pengobatan sejak dini serta kepatuhan minum obat. Obat untuk penderita kusta harus diminum secara teratur selama 6 – 12 bulan. Minum obat yang tidak teratur dapat mengakibatkan kuman menjadi kebal terhadap obat dan penyakit sukar sembuh. Oleh karena itu dukungan keluarga dan lingkungan sekitarnya serta ketrampilan petugas kesehatan sangat penting untuk penyembuhan dan mencegah cacat.
Timbulnya kecacatan adalah hal yang sering terjadi pada penderita kusta. Cacat terjadi karena kuman lepra menyerang saraf, terutama saraf tepi sehingga penderita mengalami kerusakan saraf yang akan menyebabkan mati rasa, jari-jari tangan kaku seperti cakar (claw hand), kaki menggantung (drop foot), kelumpuhan anggota gerak (tangan dan kaki), luka menahun (terutama di telapak kaki) sampai penderita bisa kehilangan jari-jari tangan/kaki yang lepas sendiri. Kecacatan ini bersifat menetap (permanen) yang hanya dapat diatasi dengan latihan/fisioterapi yang intensif atau bedah rekonstruktif. Oleh karena itu, lebih baik mencegah kecacatan daripada memperbaikinya. Kecacatan dapat dicegah bila penderita minum obat sedini mungkin. Deteksi dini penyakit kusta sangatlah penting.
Keberhasilan program pemberantasan kusta di Indonesia merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah, masyarakat, LSM dan swasta. Bertepatan dengan Peringatan Hari Kusta Sedunia (Leprosy Day) ke-62 tahun 2014 yang jatuh pada tanggal 27 Januari, banyak kegiatan yang diadakan seperti temu ilmiah, sasarehan, pengobatan bedah untuk mengatasi kecacatan, leprosy day camp bersama (LCC) dan bakti sosial. Kegiatan-kegiatan ini bertujuan bergabungnya gerakan masyarakat bebas kusta ditandai dengan peran serta masyarakat untuk melakukan deteksi dini penyakit kusta
Melalui semua kegiatan tersebut diharapkan akan meningkatkan dukungan kesadaran masyarakat, ada keperdulian lintas sektor dan lintas program dalam upaya pemberantasan kusta. “Mari Peduli Kusta, Stop Stigma dan DIskriminasi, Temukan Kusta Sedini Mungkin, Cegah Kecacatan”
Ditulis oleh Dr Sutirto Basuki, SpKK, M.Kes., FINSDV, FAADV  Rumah Sakit AntamMedika – Jakarta

0 komentar

Posts a comment

 
© Antam Medika
Designed by Team AntamMedika
Back to top