Pembangunan
kesehatan bertjuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat
yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya
manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. Program pembangunan
bidang kesehatan melalui upaya preventif antara lain pemberantasan
penyakit menular, salah satunya pemberantasan penyakit kusta.
Penyakit kusta merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae,
yang menyerang kulit, saraf tepi dan jaringan lain, kecuali otak.
Penyakit ini sudah lama dikenal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu.
Sering dianggap sebagai penyakit keturunan, karena kutukan, guna-guna
atau makanan, padahal hal tersebut tidak benar. Manusia terkena penyakit
kusta karena penularan. Penyakit kusta sering menimbulkan masalah yang
sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis,
tetapi meluas sampai pada masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahanan nasional. Ada stigma dan diskriminasi di masyarakat tentang
penyakit ini, orang takut bersentuhan dengan penderita kusta, termasuk
petugas kesehatan
Indonesia
menempati urutan ketiga Negara dengan endemik kusta terbesar di dunia
setalah India dan Brazil. Meskipun Indonesia telah berstatus emilminasi
sejak tahun 2000, tetapi penemuan kasus baru selalu ada. Tahun 2013,
ditemukan 16.856 kasus baru di Indonesia, atau 6,79 per 100.000
penduduk. Angka ini berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, yakni
18.994 (tahun 2012) dan 20.023 (tahun 2011).
Berdasarkan
data tingkat provinsi, baru 20 provinsi yang belum mencapai eliminasi
(jumlah kasus kurang dari 1 per 10.000 penduduk). Masih ada 14 provinsi
yang belum mencapai eliminasi. Di Jawa Timur pada tahun 2013 memiliki
kasus baru 4.132, sedangkan Jawa Tengah tahun 2014 penemuan kasus kusta
baru sebanak 1.813 orang di tahun 2014 dijumpai di 14 kabupaten/kota
Jawa Tengah, yang endemis kusta. Sebanyak 80% penemuannya terdapat di
daerah high endemic, sedangkan daerah endemis rendah dengan
kontribusi 20%, penemuan proporsi kecacatan angkanya cukup tinggi. Akan
tetapi kalau dilihat dari angka prevalensi penyakit kusta, sudah
menurun, yaitucase detection rate (CDR) > 0,54 per 100.000 penduduk.
Sementara proporsi kasus kusta pada anak > 5% dan proporsi cacat
tingkat 2 juga masih tinggi, yaitu 12%. Hal ini menunjukkan bahwa beban
kusta di Jawa Tengah masih tinggi dan masih perlu suatu gerakan yang
lebih atraktif yang mengajak seluruh elemen masyarakat berpartisipasi
dalam penemuan dini.
Mengapa
penularan terus terjadi ? Ini disebabkan populasi kusta masih ada.
Selama penderita kusta masih ada, dia berpotensi mnularkan penyakit ini
ke orang lain. Tetapi harus diingat bahwa penularan kusta memerlukan
kontak yang intens, sehingga sering dijumpai pada orang serumah; dan
orang bisa tertular kalau dia mempunyai kekebalan tubuh yang lemah.
Kemungkinan penularan melalui pernafasan. Tetapi tidak semua orang yang
kontak dengan pasien kusta otomatis tertular. Secara statistik, hanya 5
persen yang tertular. Sebagai ilustrasi, dari 100 orang terpapar, 95
orang di antaranya tetap sehat, 3 orang tertular dan sembuh sendiri
tanpa obat sedangkan 2 orang tertular dan menjadi sakit yang memerlukan
pengobatan. Karena itu, menemukan pasien kusta lebih dini dan
mengobatinya merupakan kunci memutus mata rantai penularan.
Permasalahan yang sedang dihadapi dalam upaya pemberantasan penyakit kusta adalah rendahnya cakupan penemuan (Case finding) penderita kusta. Hal ini disebabkan karena :
-
Keterbatasan SDM dan kemampuan petugas dalam mendeteksi dini penyakit kusta masih rendah
-
Sebagian besar (85%) penderita kusta adalah masyarakat miskin yang memiliki keterbatasan dalam menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan baik dari segi ekomomi, pengetahuan, transportasi dan pola pikir ekonomi.
-
Bertambahnya jumlah penduduk membawa konsekuensi meningkatnya kepadatan penduduk, polusi udara sehingga memperpendek jangkauan penularan kepada lingkungan sekitar.
-
Stigma terhadap kusta yang berlebihan baik oleh masyarakat maupun oleh tenaga kesehatan sendiri
Timbulnya
kecacatan adalah hal yang sering terjadi pada penderita kusta. Cacat
terjadi karena kuman lepra menyerang saraf, terutama saraf tepi sehingga
penderita mengalami kerusakan saraf yang akan menyebabkan mati rasa,
jari-jari tangan kaku seperti cakar (claw hand), kaki menggantung (drop foot),
kelumpuhan anggota gerak (tangan dan kaki), luka menahun (terutama di
telapak kaki) sampai penderita bisa kehilangan jari-jari tangan/kaki
yang lepas sendiri. Kecacatan ini bersifat menetap (permanen) yang hanya
dapat diatasi dengan latihan/fisioterapi yang intensif atau bedah
rekonstruktif. Oleh karena itu, lebih baik mencegah kecacatan daripada
memperbaikinya. Kecacatan dapat dicegah bila penderita minum obat sedini
mungkin. Deteksi dini penyakit kusta sangatlah penting.
Keberhasilan
program pemberantasan kusta di Indonesia merupakan tanggung jawab
bersama Pemerintah, masyarakat, LSM dan swasta. Bertepatan dengan
Peringatan Hari Kusta Sedunia (Leprosy Day) ke-62 tahun 2014
yang jatuh pada tanggal 27 Januari, banyak kegiatan yang diadakan
seperti temu ilmiah, sasarehan, pengobatan bedah untuk mengatasi
kecacatan, leprosy day camp bersama (LCC) dan bakti sosial.
Kegiatan-kegiatan ini bertujuan bergabungnya gerakan masyarakat bebas
kusta ditandai dengan peran serta masyarakat untuk melakukan deteksi
dini penyakit kusta
Melalui semua kegiatan
tersebut diharapkan akan meningkatkan dukungan kesadaran masyarakat,
ada keperdulian lintas sektor dan lintas program dalam upaya
pemberantasan kusta. “Mari Peduli Kusta, Stop Stigma dan DIskriminasi, Temukan Kusta Sedini Mungkin, Cegah Kecacatan”
Ditulis oleh Dr Sutirto Basuki, SpKK, M.Kes., FINSDV, FAADV Rumah Sakit AntamMedika – Jakarta
0 komentar
Posts a comment